Lisan Seorang Mujahid (Ketika Kekalahan Terkadang Disebabkan oleh Ketergelinciran Lisan)

Seorang mujahid dituntut untuk ksatria di hadapan musuh-musuhnya. Ksatriaan tersebut harus mereka tunjukkan baik dari fisik mereka, ketangkasan, visi, misi, bahkan hingga statemen-statemen yang keluar dari lisan mereka. Karenanya, jika kita melihat ke belakang panggung sejarah Islam yang gemilang, bahwa para shahabat dan para ulama salaf terdahulu adalah para mujahidin yang lisan mereka kerap kali meciutkan nyali musuh-musuh Islam dan membuat mereka gentar. Tentunya hal tersebut karena keikhlasan mereka dalam berjihad dan kesesuaian jihad mereka dengan sunnah-sunnah Rasul-Nya.

Lihatlah shahabat Bilal bin Rabah –radhiyallahu ‘anhu-, ketika disiksa oleh tuannya di padang pasir yang membakar dan membara, maka yang keluar dari lisannya adalah kalimat: ahad, ahad. Siapa yang tidak mengenal shahabat Umar bin Khaththab –radhiyallahu ‘anhu-, ketika para shahabat berhijrah ke Madinah dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh kuffar Quraisy, tetapi justru beliau berhijrah secara terang-terangan. Dengan menenteng sebilah pedang di tangan kanannya, meletakkan busur  di pundaknya, dan memegang beberapa anak panah dengan tangan kirinya, beliau mendatangi Ka’bah, menemui tokoh-tokoh Quraisy dan tetua mereka, yang selalu mengintimidasi muslim Makkah saat itu.

Setelah Thawaf tujuh kali di Ka’bah, dan shalat dua raka’at di Maqam Ibrahim beliau mendatangi setiap orang dari mereka dan berkata; “Celakalah kalian, barang siapa yang ingin ibunya kehilangan anaknya, barang siapa yang ingin anaknya menjadi yatim, barang siapa yang ingin istrinya menjadi janda, kemarilah, hadapi aku disini, Umar menantang.” Tidak seorangpun dari pemuka atau kesatria Quraisy yang maju. Demikianlah Shahabat Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- bercerita tentang hijrah Umar bin Khatab tersebut. Bahkan tidak sedikit, pekikan takbir yang digemakan oleh lisan-lisan para mujahidin di medan tempur membuat para musuh Islam (kuffar) ketakutan, ciut, dan gentar.

Karenanya, lisan seorang mujahid sangat penting. Pada satu sisi, ia mampu menciutkan nyali para musuh, membuat mereka gentar dan takut. Tapi di sisi yang lain, lisan seorang mujahid bisa berubah menjadi senjata penghancur massal bagi jama’ahnya, tanzhimnya, bahkan negaranya sekalipun. Untuk itu, seorang mujahid tidak boleh meremehkan perkara ini, mungkin ia kita anggap kecil dan remeh, tetapi sangat berharga bagi para musuh.

Sepatah Informasi yang Keluar dari Lisan Seorang Mujahid sangat Berharga Bagi Para Musuh

Kerahasiaan sebuah tanzhim dan jama’ah jihad adalah sangat penting. Demi keberlangsungan, kesolidan, dan keberhasilannya di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, Islam tidak membiarkan para pelaku informan yang mengumbar rahasia kaum muslimin hidup bebas tanpa sanksi. Bahkan, jika seorang informan membongkar rahasia kaum muslimin karena loyalitasnya kepada kuffar maka hukuman pancung telah siap menantinya.

Furat bin Hayyan –radhiyallahu ‘anhu- menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan seorang shahabat untuk membunuhnya karena dia adalah mata-matanya Abu Sufyan, dan juga sekutu bagi seorang Anshar. Ketika ia melewati sebuah halaqah kaum Anshar maka ia berkata: “Sesungguhnya saya adalah seorang muslim”, maka seorang dari kaum Anshar berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ia menyatakan dirinya seorang muslim”, lalu Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya diantara kalian ada laki-laki yang kembali kepada keimanan mereka (Islam), salah satunya adalah Furat bin Hayyan.” (HR. Abu Dawud, no. 2654).

Untuk itu, seorang mujahid diperintahkan untuk menjaga lisannya. Tidak membeberkan rahasia mereka kepada siapapun kecuali kepada orang yang telah dikenalnya (tsiqah). Namun, karena ketidakdisiplinan seorang mujahid, dan menganggap remeh hal-hal yang berkaitan dengan masalah ini, serta menganggap para musuh adalah macan ompong yang tidak punya kekuatan, tidak sedikit mereka yang dijebak oleh para infiltran yang menyusup di tengah-tengah majelis ilmu mereka, berbaur dengan mereka dan binaan-binaan mereka, sehingga para infiltran begitu leluasa bergaul dengan mereka dan mengorek informasi mereka, bahkan sampai-sampai para infiltran mengetahui kode-kode yang mereka gunakan untuk berkomunikasi, bermajelis dan bermuamalah di antara mereka. Wal’iyadzubillah.

Tak jarang kita dapatkan, seorang mujahid yang tidak disiplin, tergesa-gesa, terlalu semangat, berceloteh tentang jihad dan tanzhim yang dirinya berada di dalamnya di depan umum sebagaimana layaknya seorang pedagang ayam yang menawarkan dagangannya. Tanpa memperhatikan mana kawan dan lawan. Bahkan terkadang membanggakan tanzhimnya, membongkar rahasia-rahasianya, serta membeberkan program-program kerjanya. Ketika mereka dinasihati, serta merta mereka menuduh para pemberi nasihat tersebut dengan penakut, pengecut, tertipu, tidak punya nyali, qaidun dan tuduhan-tuduhan tidak ksatria lainnya. Padahal mereka adalah orang-orang yang mengintisabkan diri mereka kepada jihad dan mujahidin, yang tidak sepatutnya itu lakukan. Hal ini menunjukkan lemahnya pentadriban dan pentadbiran. Meremehkan sikap kitman dan kehati-hatian. Ghuluw dalam mengikuti kecendrungan diri tanpa memperhatikan realitas. Tidak sabar menghadapi keruwetan umat sehingga cenderung mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalah. Atau ingin selamat sendiri tanpa memperhatikan teman-temannya yang lain. Yang terkadang menyebabkan kita tidak sabar untuk menerima ujian setelahnya. Wal’iayadzubillah.

Sebagai penutup, marilah sama-sama kita renungkan hadits berikut,

“Wahai manusia! Janganlah kalian berangan-angan untuk (cepat) bertemu musuh, mohonlah keselamatan kepada Allah, dan apabila kalian telah bertemu dengan musuh maka bersabarlah, karena ketahuilah bahwa jannah itu terletak di bawah kilatan pedang…” (HR. Al-Bukhari, no. 2966). Wallahu A’lamu bish Shawab.

Poligami Yes, Selingkuh No!

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Muqaddimah

Kaum feminis melakukan berbagai cara untuk menentang syariat Allah, di antaranya mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Syariat yang sering mereka tentang adalah poligami. Baru-baru ini The Asia Foundation –founding Amerika yang aktif mendanai berbagai proyek gerakan liberal– bekerjasama dengan Gramedia, menerbitkan buku berjudul Islam Menggugat Poligami yang ditulis oleh Siti Musdah Mulia.

Dari judulnya, buku tersebut tidak tepat, karena yang menggugat poligami itu bukan Islam, melainkan Siti Musdah sendiri. Jadi, judul yang tepat adalah Siti Musdah Menggugat Syariat Islam tentang Poligami. Inti pembahasan buku feminis yang diberi label Islam ini adalah usaha untuk mengharamkan syariat poligami karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM. Hal ini tampak jelas pada bab Kesimpulan:

“Kesimpulannya, aspek negatif poligami lebih besar daripada aspek positifnya. Dalam istilah agama, lebih banyak mudharatnya ketimbang maslahatnya dan sesuai dengan kaidah fiqhiyah segala sesuatu yang lebih banyak mudharatnya harus dihilangkan. Mengingat dampak buruk poligami dalam kehidupan sosial, poligami dapat dinyatakan haram lighairih (haram karena eksesnya). Karena itu, perlu diusulkan pelarangan poligami secara mutlak sebab dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia” (hlm. 193-194).

Menanggapi permasalahan tersebut, maka ruang Tafsir edisi ini Bulletin YDSUI akan membahas ayat Al-Qur‘an tentang Poligami. Selamat menyimak. Baca lebih lanjut

Gempa Mengantarkan Aku Syahid!

Muqaddimah

Indonesia kembali diguncang gempa. Tepatnya pada tanggal 30 September yang lalu, pukul 17.16 WIB, gempa bumi berkekuatan 7,6 SR mengguncang Sumatera Barat dan sekitarnya. Ribuan nyawa melayang, ratusan ribu rumah dan bangunan hancur, dan kerugian mencapai milyaran rupiah. Banyak orang bertanya-tanya, mengapa wilayah kaum muslimin yang diguncang gempa? Mengapa orang-orang Islam yang menjadi korban? Apa salah mereka? Musibah ataukah adzab?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut masih menggeluti fikiran sebagian umat Islam. Bahkan pernah suatu kali penulis bertemu dengan seorang jamaah masjid, yang sambil meneteskan air mata bertanya apa dosa kaum muslimin ustadz?

Gempa Bumi Bagi Kaum Muslimin Adalah Musibah Bukan Adzab

Gempa yang mengguncang wilayah-wilayah kaum muslimin adalah musibah dan bukan adzab. Karena di dalam Islam seorang muslim yang meninggal disebabkan reruntuhan adalah syahid.

Imam Al-Bukhari dalam Kitab Shahihnya meriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Orang yang mati syahid ada lima. Orang yang meninggal dunia karena wabah tha’un (kusta) adalah syahid, orang yang meninggal dunia sakit perut adalah syahid, orang yang meninggal dunia karena tenggelam adalah syahid, orang yang meninggal dunia karena tertimpa reruntuhan adalah syahid, dan orang yang meninggal dunia karena jihad fisabilillah adalah syahid.” (HR. Al-Bukhari, no. 2674).

Para ulama memberi komentar atas hadits ini bahwa mereka yang wafat oleh sebab-sebab di atas, akan mendapatkan balasan yang sama dengan orang-orang yang berjihad dan wafat di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat.

Syaikh Muqbil Al-Wadi’i –hafizhahullahu Ta’ala- berkata, “Karenanya (berdasarkan hadits di atas) orang yang meninggal dunia karena tertimpa reruntuhan (bangunan/tanah) disebabkan gempa, tanah longsor, atau yang lainnya menjadi syahid di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dewasa atau anak kecil, laki-laki ataupun wanita.

Kaum muslimin yang shalih dan anak-anak mereka, terkena musibah karena akibat dosa yang dilakukan oleh selain mereka, sebagaimana firman Allah:

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah, bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfal: 25).

Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih keduanya dari Aisyah –radhiallahu ‘anha- ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sekelompok pasukan perang ingin menyerang Ka’bah. Hingga ketika mereka berada di tempat yang bernama Al-Baida’ dari bumi ini mereka ditenggelamkan ke dalam perut bumi awal hingga akhirnya (semuanya, termasuk yang tidak ikut sekalipun). Kemudian mereka akan dibangkitnya sesuai dengan niat-niat mereka.”

Demikian pula gempa menjadi cobaan bagi keluarga yang meninggal karena reruntuhan itu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 153-157)

Beberapa Hukum Berkaitan Dengan Gempa Bumi

1. Korban yang meninggal dunia disebabkan tertimpa reruntuhan tetap wajib untuk dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan. Karena, orang-orang yang mati syahid di medan peperanganlah yang tidak dimandikan, dikafani, dan dishalatkan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Kafanilah mereka (yang mati syahid di medan peperangan) dengan pakaian-pakaian perang mereka.”

Dalam riwayat lain, “Dengan darah-darah mereka.” (HR. An-Nasa’I, Ahmad, dan Al-Baihaqi).

Inilah pendapat jumhur ulama. Adapun mereka yang syahid pada selain medan peperangan, maka mereka tetap dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan.

2. Segera memberikan bantuan dan pertolongan kepada korban yang selamat dan yang meninggal dunia.

Begitu pula ketika terjadi musibah semacam itu, dianjurkan bagi kaum muslimin untuk menyayangi fakir miskin dan memberi sedekah kepada mereka.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sayangilah (saudara kalian), maka kalian akan disayangi.” (HR. Ahmad)

Juga sabda beliau, “Orang yang menebar kasih sayang akan disayang oleh Allah Yang Maha Penyayang. Sayangilah yang di muka bumi, kalian pasti akan disayangi oleh Allah yang berada di atas langit” (HR. At-Tirmidzi)

Belia juga bersabda, “Orang yang tidak memiliki kasih sayang, pasti tidak akan disayang.” (HR. Al-Bukhari)

Diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdul Aziz –rahimahullah- bahwasanya saat terjadi gempa, beliau menulis surat kepada pemerintahan daerah bawahannya agar memperbanyak shadaqah.

Wallahu A’lamu bish Shawab.

Kerinduanku Kepada Al-Qur’an…!

Aku Rindu Membaca Al-Qur’an
Berkata Abu Umamah Al-Bahily, “Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat kelak sebagai syafa’at bagi para pembacanya, bacalah Az-Zahrawain (Surat Al-Baqarah dan Surat Ali Imran), karena sesungguhnya dua surat ini akan datang pada hari kiamat dalam bentuk seolah-olah dua awan yang menaungi atau seperti dua gerombolan burung-burung yang mengepakkan sayapnya di udara yang akan melindungi pembacanya, bacalah surat Al-Baqarah, karena mengambilnya adalah berkah, meninggalkannya adalah kerugian, dan para ahli sihir tidak akan mendapatkannya.” (HR. Muslim: II/197, no. 1910).
Dalam Sunan Ad-Darimi disebutkan:
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu akan menemui pembacanya pada hari kiamat ketika kubur memisahkan diri darinya seperti seorang laki-laki yang pucat seraya berkata kepadanya, “Apakah engkau mengenali diriku?” Maka dia menjawab, “Saya tidak mengenalimu.” Lalu ia berkata, “Saya adalah Al-Qur’an, temanmu yang menjadikan haus pada waktu tengah hari yang sangat panas, dan akulah yang menjadikanmu begadang pada waktu malam hari, dan sesungguhnya setiap pedagang itu berada di belakang perniagaannya, dan sesungguhnya pada hari ini engkau di belakang setiap perdagangan. Maka ia diberi kekuasaan /kerajaan dari sisi kanan dan kekekalan/jannah dari sisi kiri. Kemudian diletakkan di atas kepalanya makhota kewibawaan/kehormatan, dan kedua orang tuanya dipakaikan sebuah pakaian yang tidak tertandingi nilainya oleh dunia, lalu kedua orang tuanya berkata, “Amalan apa yang menjadikan kami diberi pakaian ini?”, kemudian dikatakan kepada mereka berdua, “Karena amalan anak Anda yang mempelajari/membaca/ menghafal Al-Qur’an.” Kemudian dikatakan kepadanya, “Bacalah dan naiklah ke tangga jannah dan kamar-kamarnya, maka dia akan terus naik selama dia membaca dengan cepat atau dengan tartil.” (HR. Ad-Darimi dalam Kitab Sunannya, I/329, no. 3454).
Tidakkah kita merindukannya? Tidakkah Anda merindukannya wahai orang-orang yang beriman? Baca lebih lanjut

Apa yang Telah Kita Persembahkan untuk Allah, Rasul-Nya, dan Agama-Nya?

Allah Subhanahu wa Ta’al berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan’.”
Tafsir Ayat
Imam Al-Mujahid berkata: “Ayat ini merupakan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya bahwa amalan-amalan mereka akan diperlihatkan kepada Allah, Rasul, dan orang-orang beriman. Ini pasti akan terjadi, dan tidak mustahil pada hari kiamat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَة
“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabbmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).” (QS. Al-Haaqqah: 18)

Memahami Amal Islami
Seluruh teori kesuksesan yang ditulis dan dikembangkan masyarakat modern bermuara pada satu kata, yaitu amal atau kerja. Kerja dan terus kerja tanpa kenal lelah. Never give up (jangan pernah menyerah). Kemudian lahirlah penemuan-penemuan yang spektakuler. Penemuan listrik, atom, nuklir, pesawat terbang, telepon, mobil, dan lain-lain. Seluruh peradaban modern dibangun atas teori ini. Mereka sangat ahli tentang kehidupan dunia. Dan kesuksesan yang mereka kejar juga hanya kesuksesan di dunia. “Mereka Hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Ruum: 7)
Islam tidak pernah menafikan seluruh karya positif manusia. Tetapi yang disayangkan adalah ketika mereka lalai dan tidak beriman pada prinsip dan pedoman hidup Al-Qur’an, yang sengaja diturunkan Allah untuk manusia. ‘Katakanlah: “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 103-15)
Islam memiliki teori dan konsep kesuksesan yang lebih lengkap dan sempurna. Konsep amal shalih, bukan sekedar kerja, tetapi kerja yang dilandasi keimanan, keikhlasan dan ilmu yang benar. Kerja yang menembus batas-batas kebendaan duniawi, jauh menuju wilayah tanpa batas, orientasi ukhrawi. Oleh karena itu Imam Syafi’i mengomentari kandungan surat Al-Ashr, “Kalau saja Allah hanya menurunkan surat ini, maka cukuplah (untuk dijadikan pedoman bagi manusia).”
Bagi umat Islam yang ingin sukses di dunia dan akhirat, maka mereka harus terus menerus beramal shalih. Apalagi jika diukur dengan batas waktu atau umur yang disediakan Allah sangat terbatas. Sehingga mereka harus memprioritaskan waktunya hanya untuk amal shalih saja. Bahkan amal shalih itu sendiri ada tingkatan-tingkatannya. Dalam hukum Islam dikenal lima macam hukum, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Sehingga umat Islam harus berupaya keras untuk selalu dalam ruang lingkup wajib dan sunnah saja, minimal mubah, tetapi jangan berlebihan pada yang mubah. Dan ketika jatuh pada batas makruh dan harus, disana masih ada kesempatan bagi umat Islam, yaitu istighfar dan bertaubat. Jangan putus asa!
Dan puncak amal shalih adalah jihad, baik jihad dakwah maupun jihad perang, maka berbahagialah orang-orang beriman yang masuk wilayah ini. Inilah proyek amal islami yang harus menjadi konsens seluruh gerakan Islam, ormas Islam dan lembaga-lembaga keislaman. Ada urutan amal proyek amal islami. Dan amal adalah buah dari ilmu dan keikhlasan. Seperti yang Allah swt. firmankan, “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan.” (At-Taubah: 105) Baca lebih lanjut