Tag Archives: KPU

Siapa Pemimpin Kaum Muslimin?

Prolog

Seorang pemimpin adalah pribadi yang sangat menentukan bagi suatu umat atau bangsa. Menentukan karena dengannya sebuah Negara bisa maju atau mundur. Bila seorang pemimpin tampil lebih memihak kepada kepentingan dirinya, tidak bisa tidak rakyat pasti terlantar. Sebaliknya bila seorang pemimpin lebih berpihak kepada rakyatnya, maka keadilan pasti ia tegakkan.

Keadilan adalah titik keseimbangan yang menentukan tegak tidaknya alam semesta ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala menegakkan langit dengan keseimbangan. Pun juga segala yang ada di bumi Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dengan penuh keseimbangan. Padanan keseimbangan adalah keadilan, lawan katanya adalah kedzaliman.

Setiap kedzaliman pasti merusak. Bila manusia berbuat dzalim maka pasti ia akan merusak diri dan lingkungannya. Bayangkan bila yang berbuat dzalim adalah seorang pemimpin. Pasti yang akan hancur adalah bangsa secara keseluruhan.

Di dalam Al-Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan bahwa hancurnya umat-umat terdahulu adalah kerena kedzaliman pemimpinnya. Karena itu bila kita berusaha untuk memecahkan persoalan bangsa maka tidak ada jalan kecuali yang pertama kali kita perbaiki adalah pemimpinnya.

Pemimpin yang korup dan dzalim bukan saja akan membawa malapetaka terhadap rakyatnya tapi lebih jauh –dan ini yang sangat kita takuti – Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencabut keberkahan yang diberikan. Sungguh sangat sengsara sebuah kaum yang kehilangan keberkahan. Sebab dengan hilangnya keberkahan tidak saja fisik yang sengsara melainkan lebih dari itu, ruhani juga ikut meronta-ronta. Baca lebih lanjut

Selamat ‘Bertempur” Wahai Calon “Pendekar-Pendekar” Parlemen

Beberapa kesalahan dan ketergelinciran tidak langsung setelah menjadi anggota parlemen dan melaksanakan tugas sebagai anggota lembaga penetap undang-undang

Ada beberapa kesalahan tidak langsung dari kegiatan parlemen demokrasi, yang paling penting adalah ;

Pertama. Mengkaburkan pemahaman dan makna syahadat tauhid laa ilaaha illa Allahu “ di benak dan kehidupan kaum muslimin.

Laa ilaaha illa Allah maknanya adalah tidak ada yang berhak diibadahi di alam raya ini selain Allah ta’ala, juga berarti kufur kepada thaghut dan penghacnuran terhadap segenap berhala dan paganisme —apapun bentuk dan jenisnya—yang diibadahi selain Allah Ta’ala. Keimanan seseorang tidak akan sah dan amalannya tidak akan diterima kecuali setelah ia merealisasikan syarat kufur kepada thaghut dan melaksanakan syahadat tauhid dengan pemahaman di atas, baik secara keyakinan, ucapan maupun perbuatan.

Namun, demokrasi justru menanamkan hal yang sebaliknya dalam benak dan realita kehidupan masyarakat. Demokrasi menetapkan uluhiyah (hak untuk diibadahi) untuk makhluk, peribadahan makhluk kepada makhluk, menetapkan banyak tuhan yang diibadahi selain Allah Ta’ala, dan juga menetapkan keabsahan dan kebebasan adanya banyak tuhan yang diibadahi selain Allah Ta’ala.

Bagaimana seseorang yang hidup di dalam realita kehidupan yang saling bertabrakan seperti ini, harus mengumpulkan antara kewajiban bertauhid dengan demokrasi yang memaksa dirinya untuk —minimal — mengakui keabsahan dan kebebasan adanya banyak tuhan-tuhan palsu yang diibadahi selain Allah Ta’ala ?[1]

Ini jelas pengkaburan terhadap hakekat agama ini, terlebih lagi ketika ide perjuangan lewat demokrasi tersebut dilontarkan oleh para syaikh dan da’i. Pada saat itu, anda tidak perlu bertanya lagi seberapa parahnya kerusakan yang akan menimpa agama dan akidah umat Islam !!!

Di antara bentuk pengkaburan keji yang disengaja ini adalah apa yang dilakukan oleh banyak pemerintahan keji dan hina yang melakukan usaha-usaha pengkaburan akidah rakyat secara sistematis, dengan menanamkan dan mewajibkan demokrasi kepada rakyat, bukan karena pemerintah komitmen dan mencintai demokrasi, melainkan demi menarik dukungan dan bantuan finansial dari negara-negara salibis Barat yang mensyaratkan kehidupan berdemokrasi bagi negara yang membutuhan bantuan !!!!

Para thaghut yang dzalim ini mengingatkan kita dengan para orang tua yang dzalim, yang menampakkan anaknya dalam keadaan compang camping demi mendapatkan sedekah dari masyarakat.

Walau bagaimanapun, mengkaburkan akidah dan pengetahuan umat Islam demi meraih bantuan finansial dari negara-negara salibis Barat, tentu jauh lebih keji dan berdosa dari menampakkan anak-anak dalam kondisi compang camping dengan tujuan mendapatkan belas kasihan dan sedekah dari masyarakat. Baca lebih lanjut