Daily Archives: 24 Juli, 2008

Ya Rabbi…Diakah Jodohku??

Inilah goresan pena dari sang ikhwan (ana) yang mendambakan akhwat sholehah, yang bisa bersama untuk mencintai Mu Ya Robbi dan mencintai Muhammad Shalallahu’alaihi wassalam.

Yaa……Rabbi…….. Aku berdoa untuk seorang akhwat yang akan menjadi bagian dari hidupku Seseorang yang sangat mencintaiMu lebih dari segala sesuatu Seorang yang akan meletakkanku pada posisi di hatinya setelah Engkau dan Muhammad shallahu’alaihiwasalam Seseorang yang hidup bukan untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk-Mu dan orang lain

Wajah, fisik, status atau harta tidaklah penting Yang terpenting adalah hati yang sungguh mencintai dan dekat dengan Engkau Dan berusaha menjadikan sifat-sifat baikMu ada pada pribadinya Dan ia haruslah mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup Sehingga hidupnya tidak sia-sia

Seseorang yang memiliki hati yang bijak, tidak hanya otak yang cerdas Seseorang yang tidak hanya mencintaiku, tapi juga menghormatiku Seorang yang tidak hanya memujaku, tetapi juga dapat menasehatiku Seseorang yang mencintaiku bukan karena fisikku, hartaku atau statusku tapi karena Engkau

Seorang yang dapat menjadi sahabat terbaikku dalam setiap waktu dan situasi Seseorang yang membuatku merasa sebagai lelaki shalehah ketika aku berada di sisinya Seseorang yang bisa menjadi asisten sang nahkoda kapal Seseorang yang bisa menjadi penuntun kenakalan balita yang nakal Seseorang yang bisa menjadi penawar bisa Seseorang yang sabar mengingatkan saat diriku lancang

Ya..Rabbi…… Aku tak meminta seseorang yang sempurna Hingga aku dapat membuatnya sempurna di mataMu Seseorang yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya Seorang yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya Seseorang yang membutuhkan senyumku untuk mengatasi kesedihannya Seseorang yang membutuhkan diriku untuk membuat hidupnya lebih hidup

Aku tidak mengharap dia semulia Fatimah Radhiyallahuanha, tidak setaqwa Aisyah Radhiyallahuanha ,Pun tidak secantik Zainab Radhiyallahuanha, apalagi sekaya Khodijah Radhiyallahuanha. Aku hanya mengharap seorang akhwat akhir zaman, Yang punya cita-cita mengikuti jejak mereka, Membangun keturunan yang sholeh, Membangun peradaban, dan membuat Rasulullah shallahu’alaihiwasalam bangga di akhirat

Karena aku sadar aku bukanlah orang yang semulia abu baker Radhiyallahu, Atau setaqwa umar Radhiyallahu, pun setabah Ustman Radhiyallahu, Ataupun sekaya Abdurrahman bin auf Radhiyallahu, setegar zaid Radhiyallahu Juga segagah Ali Radhiyallahu, apalagi setampan usamah Radhiyallahu. Aku hanyalah seorang lelaki akhir zaman yang punya cita – cinta

Ya…..Rabbii ……. Aku juga meminta, Jadikanlah ia sandaran bagiku Buatlah aku menjadi ikhwan yang dapat membuatnya bangga Berikan aku hati yang sungguh mencintaiMu sehingga aku dapat mencintainya dengan sepenuh jiwaku

Berikanlah sifat yang lembut, sehingga auraku datang dariMu

Berikanlah aku tangan sehingga aku mampu berdoa untuknya Berikanlah aku penglihatan sehingga aku dapat melihat banyak kebaikan dalam dirinya Berikanlah aku lisan yang penuh dengan kata-kata bijaksana, Mampu memberikan semangat serta mendukungnya setiap saat

kokohnya benteng tidak bisa dibangun dalam semalam, namun bisa hancur dalam sedetik Kota Baghdad tak dibangun dalam sehari, namun bisa hancur dalam sekejap

Perkawinan tak dirajut dalam pertimbangan sesaat, namun bisa saja terberai dalam sesaat Pernikahan, bukanlah akhir dari sebuah perjalanan Tapi awal sebuah langkah Karenanya, jadikanlah kelak pernikahan kami sebagai titian Untuk belajar kesabaran & ridho-Mu, ya Rabbi

Dan bilamana akhirnya kami berdua bertemu, aku berharap kami berdua dapat mengatakan: ” Betapa Maha Besarnya Engkau karena telah memberikan kepadaku pasangan yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna”.

Aku mengetahui bahwa Engkau ingin kami bertemu pada waktu yang tepat Dan Engkau akan membuat segalanya indah pada waktu yang telah Engkau tentukan….

Astaghfirullah, Wallahu’alam bisshowab

Dari ikhwan yang membutuhkan ampunan Allah azzawajalla, dan mengharapkan doaku dikabulkanNYA untuk mendapatkan istri yang sholehah.

DiAkAh AkHwAt SeJaTi??

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari wajahnya yang manis dan menawan, tetapi dari kasih sayangnya pada karib kerabat dan orang disekitarnya. Pantang baginya mengumbar aurat, dan memamerkannya kepada siapapun, kecuali pada mahramnya. Dia senantiasa menguatkan iltizam dan azzam-nya dalam ber-ghadul bashar dan menjaga kemuliaan diri, keluarga serta agamanya.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lembut dan mempesona, tetapi dari lembut dan tegasnya tutur dalam mengatakan kebenaran. Dia yang senantiasa menjaga lisan dari ghibah dan namimah. Pantang baginya membuka aib saudaranya. Dia yang memahami dan merasakan betul bahwa Allah swt senantiasa mengawasi segala tindak-tanduknya.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari liuk gemulainya kala ia berjalan, tetapi dari sikap bijaknya memahami keadaan dan persoalan-persoalan. Dia yang senantiasa bersikap tulus dalam membina persahabatan dengan siapapun, dimanapun dirinya berada. Tak ada perbendaharaan kata “cemburu buta” dalam kamus kehidupannya. Dia senantiasa merasa cukup dengan apa yang Allah swt anugerahkan untuknya, juga atas nafkah yang diberikan sang suami kepadanya. Tak pernah menuntut apa-apa yang tidak ada kemampuan pada sang qowwam di tengah keluarga. Sabar adalah aura yang terpancar dari wajahnya. Sifat tawadhu’ adalah pakaian yang senantiasa dia pakai sepanjang perguliran zaman.


Akhwat sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia menghormati dan menyayangi orang-orang ditempat kerja (wajihah dakwah), tetapi dari tatacaranya menghormati dan menyayangi siapapun dan dimanapun tanpa memandang status yang disandangnya. Dia yang dilihat menyejukkan mata dan meredupkan api amarah. Baitii jannatii selalu berusaha ia ciptakan dalam alur kehidupan rumah tangga. Totalitas dalam menyokong dakwah suami dan berdarmabakti mengurus generasi penerus yang berjiwa Rabbani.


Akhwat sejati bukanlah dilihat dari banyaknya ikhwan yang memuji dan menaruh hati padanya, tetapi dilihat dari kesungguhannya dalam berbakti dan mencintai Allah dan Rasulullah. Dia yang selalu menghindari sesuatu yang syubhat terlebih hal-hal yang diharamkan-Nya.


Akhwat sejati bukanlah dilihat dari pandainya dia merayu dan banyaknya airmata yang menitik, tetapi dari ketabahannya menghadapi liku-liku kehidupan. Pancaran kasih sayang melesat tajam dari tiap nada bicara yang keluar dari bibirnya. Dia yang memiliki perasaan yang tajam untuk selalu berbuat ihsan kala ditempat umum maupun kala sendiri.


Akhwat sejati bukanlah dilihat dari merdunya suara kala bertilawah Qur’an dan banyaknya hadits yang ia hafal, tetapi dari keteguhan dan konsistennya mengamalkan kandungan keduanya. Dia selalu berusaha mengajarkan pada yang belum memahaminya. Al-Qur’an dan As-Sunnah dijadikannya sebagai suluh penerang serta pijakan dalam menelusuri lorong-lorong gelap kehidupan.


Akhwat sejati bukanlah dilihat dari tingginya gelar yang disandangnya serta luasnya wawasan ataupun lincahnya ia bergerak, tetapi tingginya ghirah untuk menuntut ilmu dan mengamalkan syariat secara murni dan berkesinambungan. Ilmu yang bermanfaat adalah tongkat yang ia pegang.


Menjadi akhwat sejati, niscaya akan membuat iri dan cemburu para bidadari, menjadi dambaan bagi mereka para insan berjiwa Rabbani, menjadi dambaan bagi mereka para pemilik ruh dakwah dan jihadiyah, serta para hamba Allah yang tidak tertipu oleh gemerlapnya dunia yang semu…….

Menjadi Akhwat sejati, Seperti yang dicontohkan oleh khadijah, Aisyah, Hafsah, Maimunah, Shafiyah, Fathimah Az Zahra, dan para shahabiyah radiyallohu’anha ajma’in.


# Dikutip dari Buku : “Surat Cinta Untuk Sang Aktivis” – Musafir Hayat #

Tauhid! Wahai Para Pemuda Dan Pemudi Islam

Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘alamin, Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat.

Pada pagi ini kita akan bersama-sama mengkaji tauhid dan materi sekarang yang pertama berkenaan dengan muqaddimah yang sangat penting, yang mana dari muqadimah ini kita akan mengetahui betapa besar kedudukan tauhid dibandingkan dengan amal-amal yang lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan dalam surat Adz Dzariyat: 56

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi kepadaKu”

Jadi tujuan kita diciptakan hidup didunia oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah dalam rangka mengabdi kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukan mengabdi kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kita sebagai hamba Allah, kita adalah abdi bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan kita hanya menghambakan diri dan mengabdikan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Saya ulangi… tujuan kita didunia ini bukan apa-apa tapi untuk mengabdi “liya’ buduun” kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Adapun bumi dan isinya beserta pernik-perniknya semua Allah ciptakan buat kita, Allah ta’ala berfirman:

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al Baqarah [2]: 29)

Jadi, bumi dan segala isinya baik yang ada diperut bumi ini dan di atas bumi ini semuanya Allah ciptakan buat kita, sedangkan kita diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk mengabdi kepada-Nya…. makanya sangat keliru sekali bila orang sibuk mengorbankan agama, mengorbankan pengabdiannya kepada Allah dalam rangka mencapai kehidupan dunia yang sesaat yang padahal itu adalah bekal dalam hidup mengabdi mencapai ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Banyak sekali manusia mengorbankan tauhidnya, mengorbankan diennya untuk mendapatkan materi, mendapatkan uang, makanan, harta benda dari dunia ini padahal Allah ta’ala sangat menghati-hatikannya:

“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”. (QS. Fathir [35]: 5)

Jadi, kalau orang lupa kepada tujuan hidup yaitu pengabdian kepada Allah dan ia malahan menjadi hamba atau abdi bagi selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berarti dia telah terpedaya dengan kehidupan dunia, dia terpedaya oleh syaitan dan dia lupa akan tujuan hidup yang sebenarnya.

Saya ulangi, kita diciptakan untuk mengabdi kepada Allah, untuk beribadah kepada Allah, akan tetapi dikarenakan kita ~manusia~ ini terbatas kemampuan akalnya, Allah menciptakan manusia ini sebagai makhluq yang bodoh lagi zalim. Manusia tidak bisa mengabdi secara sebenarnya kepada Allah dengan sendirinya tanpa ada bimbingan, maka dari itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan Rasul-rasul-Nya sebagai pembimbingnya. Allah juga mengetahui bahwa Rasul-rasul itu tidak akan hidup selamanya ditengah umatnya… pasti meninggal dunia. Maka Allah menurunkan Kitab-Nya sebagai pedoman yang harus dipegang oleh orang-orang yang mengikuti para Rasul tersebut.

Jadi Rasul adalah pembimbing, Kitab adalah pedoman hidup tersebut, kita ingin mencapai kepada Allah harus mengikuti apa yang dituntunkan oleh Rasul dan mengikuti pedoman yang telah Allah turunkan, yang mana pedoman ini adalah tali Allah yang Dia ulurkan ke dunia, barangsiapa memegang tali Allah ini (tali Allah adalah pedoman, Al Kitab, Al-Qur’an) maka akan sampai pada ridha Allah, tapi kalau memegang kitab-kitab yang lainnya yang tidak ada dasar dari Allah, sedangkan kitab selain yang Allah turunkan adalah kitab yang diulurkan oleh syaitan dari neraka. Ketika yang dijadikan acuan hidup atau pedoman atau bimbingan selain Kitabullah atau selain ajaran Rasul, maka kitab tersebut akan menghantarkan ke dasar api neraka. Berbeda jika orang memegang Al-Qur’an ~tali yang diturunkan ke dunia~ maka akan sampai kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jadi disini, Rasul diutus sebagai pembimbing.

Dan sekarang apa inti dakwah para Rasul? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan sungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An Nahl [16]: 36)

Ayat ini secara tegas dan jelas menjelaskan bahwa samua Rasul diutus oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan yang pertama kali mereka ucapkan pada kaumnya dan ini diucapkan oleh para Rasul terhadap umatnya termasuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah “Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut”

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

“Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku”.(QS. Al-Anbiyaa [21]:25)

Jadi semua Rasul, Allah wahyukan kepada mereka yang pertama adalah “Laa ilaaha illallaah” dan Laa ilaaha illallaah ini yang disampai oleh para Rasul dalam ayat An-Nahl di atas tadi (“Ibadahlah kalian kepada Allah dan Jauhilah thaghut”) Jika kedua ayat tersebut digabungkan maka maknanya adalah: Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut. Laa ilaaha maknanya: Jauhilah thaghut dan illallaah maknanya ibadah kalian kepada Allah.

Ajaran Tauhid (Laa ilaaha illallaah ) ini adalah disepakati oleh semua Rasul, dari rasul pertama sampai rasul terakhir, dalam masalah tauhid adalah sama, perintah untuk hanya beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut.

Apa thaghut itu…? Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kita untuk menjauhi thaghut. Apakah kita tahu apa thaghut itu? Bagaimana kita menjauhi thaghut?. Karena keimanan kepada Allah tidak akan bermanfaat tanpa orang menjauhi thaghut, karena Laa ilaaha illallaah itu mempunyai dua rukun: yang pertama: Laa ilaha yang berarti jauhi thaghut, sedangkan yang kedua illallaah (kecuali Allah) maksudnya ibadahlah kalian hanya kepada Allah. Salah satunya tidak bisa berdiri tanpa yang lainnya.

Orang yang menjauhi thaghut tapi tidak iman kepada Allah maka tidak manfaat, begitu juga orang yang iman kepada Allah tapi tidak menjauhi thaghut maka keimanan kepada Allah tersebut tidak akan bermanfaat, akan tetapi harus digabungkan: “Ibadah kepada Allah dan menjauhi thaghut”.

Jadi semua dakwah para Rasul adalah sama dalam masalah Laa ilaaha illallaah yaitu ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut. Allah ta’ala berfirman:

“Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya dia berpegang (teguh) pada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus” (QS. Al-baqarah [2]:256)

Buhul tali yang sangat kokoh ini adalah Laa ilaha illallaah, tadi telah saya utarakan: Itulah tali yang Allah ulurkan ke dunia ini, barangsiapa yang kafir terhadap thaghut atau bahasa lain dalam surat An-Nahl: 36 “menjauhi thaghut dan beriman kepada Allah (beribadahlah kepada Allah)” maka orang tersebut telah memegang buhul tali yang amat kokoh yaitu Laa ilaha illallaah yang dijelaskan dalam Surat Al-Anbiya’: 25. Jadi maknanya: Siapa yang kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah, maka orang tersebut telah memegang Laa ilaha illallaah, artinya: Kalau orang tidak kafir terhadap thaghut walaupun ia beriman kepada Allah, maka dia itu belum memegang Laa ilaha illallaah walaupun ia mengucapkannya dan walaupun ia mengakuinya.

Jadi orang yang kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah disebut orang yang telah memegang “Al-‘Urwah Al Wutsqa”, Al-Urwah adalah ikatan dan Al-Wutsqa adalah yang amat kokoh dan ikatan yang amat kokoh ini adalah tauhid (Laa ilaha illallaah) karena ikatan tersebut tidak akan putus.

Disini Allah mensyaratkan bagi orang agar dikatakan memegang Laa ilaha illallaah adalah dengan dua hal: Iman kepada Allah dan kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan ibadah hanya kepada Allah. Sedangkan kita mengetahui bahwa rukun Islam yang paling pertama adalah Laa ilaha illallaah. Dalam hadits Bukhariy dan Muslim yang diriwayatkan Ibnu Umar radliyallahu’anhu, Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mengatakan: “Islam dibangun atas lima hal, yang pertama adalah syahadatain Laa ilaha illallaah wa ana Muhammad Rasulullah. . .” Dan kita juga mengetahui bahwa orang dikatakan telah masuk Islam apabila komitmen dengan Laa ilaha illallaah.

Kunci masuk Islam adalah Laa ilaha illallaah sebagaimana kunci masuk surga adalah Laa ilaha illallaah. Maksudnya di sini bukan sekedar mengucapkan, akan tetapi komitmen dengan makna kandungannya yaitu kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan iman atau ibadah kepada Allah artinya: Apabila orang tidak merealisasikan Laa ilaha illallaah maka orang tersebut belum memiliki kunci keIslaman yaitu pengamalan akan Laa ilaha illallaah.

Oleh karena itu para Ulama seperti: Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitab beliau Taisir Al ’Aziz Al Hamid: “Sekedar mengucapkan Laa ilaha illallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan segala bentuk syirik akbar dan kafir terhadap thaghut maka pengucapan Laa ilaha illallaah tersebut tidak bermanfaat berdasarkan ijma para Ulama”.

Jadi hal itu tidak bermanfaat walaupun mengucapkannya beratus-ratus kali atau beribu-ribu kali dalam setiap hari, apabila tidak memahami maknanya dan tanpa komitmen dengan kandungannya maka itu tidaklah bermanfaat berdasarkan ijma’ para ulama.

Bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebelumnya telah menjelaskan dalam hadits Muslim yang disebutkan dalam shahihnya yaitu Dari Abu Malik Al-Asyja’i, Beliau mengatakan: “Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaha illallaah dan ia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah ~maksudnya kafir terhadap Thaghut~ maka haram darah dan hartanya”. Di sini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan keharaman darah dan harta, maksudnya orang dikatakan berstatus muslim yang haram harta dan darahnya jika ia mengucapkan Laa ilaha illallaah dan kafir terhadap thaghut. Jadi sekedar mengucapkannya adalah tidak manfaat dan orangnya belum masuk ke dalam Al-Islam bila tidak kafir kepada thaghut.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab beliau Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain: “Islam itu adalah mentauhidkan Allah dan ibadah hanya kepada Allah saja tidak ada satupun sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul, dan barangsiapa tidak membawa hal ini maka ia bukan Muslim”. Karena ia belum memegang Laa ilaha illallaah.

Jadi Laa ilaha illallaah itu memiliki makna dan memiliki kandungan serta memiliki konsekuensi yang di antaranya kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut.

Jadi, apa itu thaghut? Apa sajakah thaghut itu? Allah memerintahkan kita untuk menjauhi thaghut. Tidak mungkin Allah tidak memberikan penjelasan tentang thaghut… itu mustahil, shalat saja yang Allah fardhukan 10 tahun setelah kerasulan dijelaskan dalam sunnahnya secara terperinci oleh Rasul-Nya, apalagi thaghut yang mana Allah perintahkan semenjak awal Rasul diutus untuk mengatakan: “jauhi thaghut…!” tentulah Allah menjelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an dan Allah pasti menjabarkan bagaimana tata cara kafir terhadap thaghut? Kita tanya diri kita, apakah saya sudah tahu apa itu thaghut? atau apakah justru saya mendekati thaghut? atau malah saya iman kepada thaghut? atau malah saya loyal kepada thaghut? Semua jawaban ada pada diri kita sendiri, maka dari itu hal ini mengharuskan kita untuk mengetahuinya.

Apabila kita paham bahwa keIslaman seseorang atau orang tidak dikatakan muslim, tidak dikatakan mukmin kecuali kalau kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah, maka selanjutnya… sebelum kita mengupas lebih banyak apa maknanya, maka terlebih dahulu harus kita ingat bahwa segala amal ibadah; baik itu shalat, zakat, shaum, haji, i’tikaf, shalat tarawih dan yang lainnya tidak akan Allah terima, tidak akan Allah balas kalau orangnya belum muslim, belum mukmin. Maksudnya di sini adalah muslim… mukmin yang sebenarnya ~bukan pengakuan saja~, yaitu muslim yang merealisasikan Laa ilaha illallaah karena para ulama menjelaskan dari uraian-uraian yang tadi mereka mengatakan: “Para ulama sepakat, bahwa orang yang memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah maka dia itu orang musyrik walaupun dia shalat, zakat, shaum, mengaku muslim dan mengucapkan Laa ilaha illallaah” [Lihat Ibthal At Tandid]. Dan di sini Allah hanya akan menerima amal shalih yang dilakukan seseorang dengan syarat orang tersebut merealisasikan Laa ilaha illallaah (kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah) karena orang tidak dikatakan muslim dan tidak dikatakan mukmin kecuali kalau kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah atau merealisasikan Laa ilaha illallaah.

Mari kita ambil beberapa ayat yang menerangkan bahwa amal shalih tidak akan Allah balas kalau orangnya (pelakunya) tidak kafir terhadap thaghut.

1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukimin, maka mereka itu akan masuk surga dan mereka tidak dizalimi sedikitpun” (QS. An-Nisa [4]: 124)

Ayat “sedang dia itu mukmin”, sedangkan orang tidak dikatakan mukmin kecuali orang tersebut kafir terhadap thaghut, karena ~seperti yang sudah dijelaskan~ pintu masuk Islam adalah Laa ilaha illallaah dan maknanya adalah kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah akan memberikan balasan surga dan tidak sekitpun mengurangi amal shalih yang dilakukan seseorang baik itu laki-laki ataupun perempuan dengan syarat dia mukmin, sedangkan orang yang melakukan shalat, zakat, shaum, haji, jihad dan yang lainnya namun dia ternyata tawalliy kepada thaghut atau masih melakukan kemusyirikan atau yang lainnya yang melanggar Laa ilaha illallaah, maka balasan tadi tidak akan diberikan karena Allah mengatakan “sedang dia itu mukmin” sebagai syaratnya.

2. Allah ta’ala berfirman:

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukmin, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.(QS. An-Nahl [16]: 97)

Amal shalih yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan akan ada balasannya dari Allah, akan tetapi ada syaratnya yaitu: “sedang dia itu mukmin”. Orang mukmin yaitu yang merealisasikan keimanan yang intinya ada dalam makna kandungan Laa ilaha illallaah (kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah)

Dua ayat di atas sama… semuanya tentang amal shalih, ada balasan diujungnya, sedang ditengahnya ada syarat: “sedang dia itu mukmin”.

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan barangsiapa mengerjakan kebajikan sedang dia itu mukmin maka dia tidak khawatir akan perlakuan zalim terhadapnya dan tidak (pula khawatir) akan pengurangan haknya”. (QS. Thaha [20]: 112)

Orang yang melakukan amal shalih tidak akan didhalimi oleh Allah, dan tidak akan dikurangi pahalanya tapi syaratnya: “sedang dia itu mukmin” orangnya mukmin, orangnya (pelakunya) itu kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebaliknya jika orang melakukan amal shalih tapi tidak menjauhi thaghut maka amalnya tidak akan diberikan balasan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

4. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan sedang dia itu mukmin maka usahanya tidak akan diingkari (sia-sia) dan sungguh Kami akan mencatat untuknya” (QS. Al-Anbiyaa [21]: 94)

Amal shalih yang dilakukan seseorang akan dicatat oleh Allah ‘Azza Wa Jalla dan tidak akan diingkari-Nya dengan syarat: “sedang dia itu mukmin”. Berarti kalau orang melakukan amal shalih akan tetapi belum merealisasikan ”kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah” (Laa ilaha illallaah) maka tidak akan dicatat oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. (anshar-tauhid-wa-sunnah.blogspot.com)

5. Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman:

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukmin maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rizqi di dalamnya tanpa batas.(QS. An Nisa[4]: 124)

Ada balasan surga dan ada balasan terhadap amal shalih yang dilakukan oleh setiap individu insan degan syarat: “Sedang ia itu mukmin”

6. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang dia itu mukmin, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik. (QS. Al Isra [17]: 19)

Amal shalih yang dilakukan seseorang akan dibalas oleh Allh Subhanahu Wa Ta’ala dengan syarat: “sedang dia itu mukmin” orang mukmin

7. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman

“Barangsiapa datang kepada-Nya dalam keadaan beriman dan telah mengerjakan kebajikan, maka mereka itulah orang yang memperoleh derajat yang tinggi” (QS. Thaha [20]: 75)

Allah janjukan surga atas amal shalih yang dilakukan seseorang dengan syaray dia itu mukmin. Dia iman kepada Allah dan kufur kepada thaghut.

Semua ayat-ayat di atas dengan jelas dan tegas menjelaskan bahwa sekedar orang asal shalat, zakat, haji dan yang lainnya belum tentu dia itu muslim kalau dia belum merealisasikan Laa ilaha illallaah.

Dan yang harus diperhatikan adalah bahwa ajaran yang paling pokok di dalam Islam ini dan paling nikmat bila seseorang telah mendapatkan karunia-Nya adalah ketika dia memahami dan bisa mengamalkan kandungan Laa ilaha illallaah.

Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mendakwahkan Laa ilaha illallaah, sebelum diangkat menjadi Rasul yang mana digelari oleh masyarakat sekitarnya sebagai Al-Amin (orang yang jujur lagi terpercaya), tetapi ketika mendakwahkan Laa ilaha illallaah maka gelar itu berubah menjadi: “Tukang Sihir lagi Pendusta” (QS. Shaad: 4) “Penyair Gila” (QS. Ash Shafaat: 36) dan dalam ayat yang lain dikatakan “sesat”. Dan perubahan ini semua karena Laa ilaha illallaah.

Tidak mungkin orang sekedar mengucapkan Laa ilaha illallaah langsung dikatakan: gila, pendusta, penyair gila … melainkan ketika mengamalkan konsekuensi daripada Laa ilaha illallaah. Rasulullah dilempari, dicekik, Bilal disiksa, Sumayyah dibunuh, Yasir dibunuh, Ammar disiksa dan shahabat lain karena diintimidasi maka mereka diizinkan hijrah ke Habasyah (Ethophia), meninggalkan kampung halaman, rumah, harta benda, mengarungi padang pasir yang luas dan mengarungi lautan yang jauh untuk menyeberang ke Benua Afrika, karena apa? … Karena mempertahankan Laa ilaha illallaah.

Andaikata Laa ilaha illallaah itu hanya sekedar mengucapkan tanpa ada konsekuensi logis yang dituntut oleh kalimat tersebut pada realita kehidupan, maka tidak mungkin terjadi apa yang menimpa mereka.

Sekarang misalnya kita mengucapkan Laa ilaha illallaah di hadapan thaghut maka kita tidak akan diapa-apakan. Akan tetapi ketika mengamalkan kandungan daripada Laa ilaha illallaah maka akan terjadi apa yang terjadi berupa: orang-orang menggunjing, orang menjauhi dan mencela kita, dan bahkan thaghut mengejar dan memenjarakannya itulah yang terjadi ketika kita mengamalkan konsekuensinya.

Nabi Nuh ‘alaihissalam ketika mendakwahkan Laa ilaha illallaah memakan waktu yang sangat lama, karena beratnya sehingga kaumnya menolak: “Dan sungguh kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun” (QS.Al-Ankabut: 14) Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam waktu sekian lama hanya mempunyai pengikut sebanyak 40 orang -sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama- disebabkan beratnya kandungan Laa ilaha illallaah.

Shalat tidak dilarang dimanapun, baik orang kafir ashliy atau orang kafir murtad atau thaghut tidak melarang shalat bahkan dianjurkan, shaum bagi mereka menambah penghematan, haji bagi mereka menambah devisa negara, akan tetapi… ketika mengamalkan kandungan Laa ilaha illallaah maka yang ada adalah: penyiksaan, intimidasi, penjara, pembunuhan dan yang lainnya. Itu semua adalah ketika Laa ilaha illallaah dipegang.

Kita sering mendengar bahwa nikmat yang paling agung adalah nikmat iman dan islam, hal itu adalah Laa ilaha illallaah bukan hanya sekedar ucapan tanpa mengetahui maknanya. Jika orang tidak memahami hakikat Laa ilaha illallaah dan tidak mengamalkannya maka ia tidak mungkin merasakan nikmat itu, akan tetapi di sini apabila orang memahaminya, mengamalkannya walaupun harus meninggalkan harta dunia atau materi atau apa saja harta dunia yang ia miliki, apabila dia sudah merasakan akan nikmat Laa ilaha illallaah maka ia akan berani meninggalkan semua demi meraih ridha Allah… meraih surga dan selamat dari api neraka.

Sebaliknya, orang yang melakukan amal shalih sedangkan ia tidak merealisasikan makna Laa ilaha illallaah, masih berlumuran dengan kemusyirikan, kekafiran, kethaghutan dan yang lainnya, maka nestapa yang akan dirasakannya adalah sebagaimana apa yang Allah gambarkan dalam firman-Nya tentang orang-orang yang melakukan amal shalih sedangkan dia belum merealisasikan Laa ilaha illallaah yaitu:

1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

Dan kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan” (QS. Al-Furqan [25]: 23)

Jadi tidak ada artinya, hilang: shalatnya, zakatnya, shaumnya, hajinya, berbuat baiknya kepada tetangga, perbuatan baiknya kepada orang tuanya, dan kebaikan-kebaikan lainnya, maka semuanya lenyap karena kemusyrikan, karena amal shalih hanya akan diterima dengan syarat “sedang dia itu mukmin” , komitmen dengan Laa ilaha illallaah, orangnya muwahhid (bertauhid).

2. Dan firman-Nya yang menggambarkan tentang realita umat yang merasa telah melakukan amal baik berupa amal-amal shalih padahal sebenarnya dirinya itu masih musyrik dan masih kafir tanpa ia menyadari, namun ia merasa bahwa dirinya adalah bagian dari orang-orang yang muslim padahal ia masih berbau kemusyrikan… Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya” (QS. An-Nur [24]:39)

Ayat “dan orang-orang kafir” adalah siapa saja yang belum merealisasikan Laa ilaha illallaah, baik itu mengaku muslim atau nonmuslim, mau shalat, mau zakat ataupun haji akan tetapi belum merealisasikan Laa ilaha illallaah maka pada hakikatnya dia masih kafir.

Allah perumpamakan amalan orang-orang yang belum merealisasikan Laa ilaha illallaah seperti fatamorgana, maksudnya adalah bahwa orang yang merasa dirinya sudah muslim (ia melakukan) shalat, zakat, haji dan banyak berbuat baik pada sesama, lalu ia mengira pahalanya sudah menumpuk di sisi Allah, dia siap memetiknya hingga dia mengira akan masuk surga dan ketika didatangi (maksudnya: mati) menemui Allah, yang mana sebelumnya dia di dunia mengira pahala sudah menumpuk… ternyata realitanya dia tidak mendapatkan apa-apa, kenapa??? Karena Allah tidak mencatatnya, karena amalan itu tidak ada artinya, sungguh sangat kecewa sekali, padahal dahulu ketika di dunia dia mengira bahwa dia calon penghuni surga dan aman dari api neraka, ternyata yang ada adalah nestapa yang dia dapatkan dalam realita yang seperti itu…Bagaimana sekiranya kalau hal itu menimpa diri kita? Ini adalah gambaran dalam ayat tersebut.

1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Perumpamaan orang yang kafir kepada Tuhannya, perbuatan mereka seperti debu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan (didunia)” (QS. Ibrahim [18]: 18)

Jika menyimpan debu di depan rumah kita, lalu tiba-tiba debu tersebut ditiup badai… maka apa yang terjadi? Maka kita akan lihat debu tersebut beterbangan. Begitu juga amal shalih, ia seperti tumpukan debu, sedangkan noda-noda kekafiran, kemusyrikan, kethaghutan adalah badai yang meniup dan menghempaskan amal shalih yang menumpuk, maka amal shalih itu hilang diterpa badai kemusyrikan tersebut.

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada Nabi-Nabi yang sebelummu: Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalanmu dan tentulah engkau termasuk orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39]: 65)

Allah ta’ala mengingatkan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam, sedangkan kedudukan beliau adalah Rasul. Beliau adalah orang muslim, muwahhid, bertauhid dan mukmin. Akan tetapi jika Rasulullah melakukan kemusyrikan, beliau diberikan ancaman oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka apa gerangan dengan kita..???

Rugi, karena sudah capek beramal, banyak mengeluarkan biaya apalagi kalau pergi Haji makan biayanya besar, akan tetapi ternyata tidak mendapatkan apa-apa … bukankah ini suatu kerugian…!?

3. Bahkan bukan hanya Rasulullah Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam saja, akan tetapi semua rasul diperingatkan dengan ancaman oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kitabNya:

“Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan” (QS. Al-An’am [6]: 88)

Andai kamu hai orang-orang muslim… hai siapa saja, bila melakukan kemusyrikan maka lenyaplah amal kamu seperti tumpukan debu yang dihempas oleh badai, sehingga ketika mengaku sebagai seorang muslim, merasa dirinya sudah Islam, melakukan shalat, zakat, haji, jihad, bakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, memberi kepada sesama dan yang lainnya, tetapi realita sebenarnya dia itu belum merealisasikan Laa ilaha illallaah dan belum kufur terhadap thaghut lalu merasa dirinya sudah benar, sudah Islam, dia merasa bahwa kalau dia mati bisa memetik hasil amal shalih yang telah dia lakukan, akan tetapi ternyata ketika dia datang ke akhirat ia tidak mendapatkan apa-apa sehingga ini yang Allah gambarkan dalam firman-Nya:

“Apakah perlu kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya? (yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al-kahfi [18]: 103-104)

Mereka mengira sudah berbuat sebaik-baiknya, mengira bahwa dia itu calon penghuni surga, mengira bahwa amalannya diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala, mengira dirinya aman dari api neraka. Tapi ternyata… tidak seperti yang dia perkirakan. Bukannya pahala yang didapatkannya akan tetapi malah siksa api neraka, karena apa? Karena belum merealisasikan inti dari pada ajaran Islam ~Laa ilaha illallaah (iman kepada Allah dan kufur terhadap thaghut)~ sehingga nestapa inilah yang akan dirasakan dan apa yang Allah gambarkan dalam firmanNya ta’ala:

“Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk hina, (karena) bekerja keras lagi kepayahan, mereka memasuki api yang sangat panas“ (QS. Al Ghasyiah [88]: 2-4)

Bukan surga yang didapat, akan tetapi dia masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Alangkah ruginya, alangkah sedihnya ketika kondisi yang di sana tidak ada lagi kesempatan untuk kembali lagi ke dunia. Mungkin, ketika orang melakukan kegagalan didunia ini, dia bisa mengulang dan bisa mengambil pelajaran karena masih ada kesempatan tapi di akhirat maka tidak akan ada lagi kesempatan.

Orang yang dahulunya menentang Allah dan mengikuti thaghut, mereka akan berkata seperti yang Allah gambarkan dalam firmanNya:

“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan di antara mereka terputus sama sekali”. (QS. Al-Baqarah [2]:166)

“Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami”. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka”. (QS. Al-Baqarah [2]:167)

Jadi, Tauhid (Laa ilaha illallaah) adalah inti kehidupan kita, inti daripada dien kita. Realisasikan tauhid ini, jauhi thaghut sebelum Allah Subhanahu Wa Ta’ala menutup akhir hayat kita sedang kita belum berlepas diri daripada kethaghutan, karena kehidupan dunia hanya sementara, kehidupan abadi adalah di akhirat. Allah menciptakan kita didunia untuk mengabdi kepada Allah… untuk menjauhi thaghut.

Apa thaghut itu? Apa kita sudah tahu apa thaghut, yang mana Allah ta’ala memerintahkan kita untuk menjauhinya? Dimana keimanan kepada Allah tidak akan bermanfaat tanpa kafir kepada thaghut dan bagaimana cara kita menjauhi thaghut? Dan apa saja yang membatalkan Laa ilaha illallaah? Apa saja yang menggugurkan Laa ilaha illallaah? Jika kita mengetahui apa yang membatalkan wudhu padahal seharusnya kita terlebih dahulu mengetahui apa yang membatalkan Laa ilaha illallaah… yakni yang membatalkan tauhid kita.

Semua ini memahamkan kita ketika mendengar ayat-ayat yang tadi saya sampaikan tentang begitu pentingnya Laa ilaha illallaah dan begitu besarnya kandungan daripada Laa ilaha illallaah ini sehingga amalan tidak bisa diterima tanpa adanya pengamalan terhadap Laa ilaha illallaah. Ini semua mendorong kita untuk mengetahui apa sebenarnya yang dikandung oleh Laa ilaha illallaah dan bagaimana hukumnya loyalitas terhadap thaghut. Semua ini harus diketahui.

Dan Insya Allah kita lanjutkan pada materi berikutnya dipertemuan yang akan datang.

Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita, keluarganya dan para shahabatnya, serta orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat…

Alhamdulillahirrabbil’alamiin.

Piagam Madinah (Undang-Undang Negara Madinah)

Teks Dokumen Piagam Madinah

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

1

Inilah sebuah dokumen dari Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatur hubungan antara orang-orang yang beriman dan Muslim dari Quraisy dan Yastrib Madinah dan dengan siapa saja yang mengikuti, bergabung, dan berjuang dengan mereka.

2

Mereka adalah satu komunitas (ummah) dengan mengenyampingkan semua manusia.

3

Muhajirin Quraisy, sesuai dengan adat istiadat mereka, akan membayar uang tebusan (diyah) dalam nilai uang mereka dan akan menebus tawanan-tawanan mereka dengan kebaikan dan keadilan yang umum di kalangan orang-orang beriman.

4

Bani Auf, sesuai dengan adat istiadat mereka, akan membayar uang tebusan yang biasa mereka bayar sampai kini, dan setiap bagian akan menebus tawanan-tawanan mereka dengan kebaikan dan keadilan yang umum di kalangan orang-orang beriman.

5

Banul-Harits (Ibnul Khazraj), sesuai dengan adat istiadat mereka, akan membayar uang tebusan yang biasa mereka bayar sampai kini dan setiap bagian akan menebus tawanan-tawanan mereka dengan kebaikan dan keadilan.

6

Bani Sa`idah, sesuai dengan adat istiadat mereka, akan membayar uang tebusan yang biasa mereka bayar sampai kini dan setiap bagian akan menebus tawanan-tawanan mereka dengan kebaikan dan keadilan yang umum di kalangan orang-orang beriman.

7

Bani Jusyam, sesuai dengan adat istiadat mereka, akan membayar uang tebusan yang biasa mereka bayar sampai kini dan setiap bagian akan menebus tawanan-tawanan mereka dengan kebaikan dan keadilan yang umum di kalangan orang-orang beriman.

8

Bani an-Najjar, sesuai dengan adat istiadat mereka, akan membayar uang tebusan yang biasa mereka bayar sampai kini dan setiap bagian akan menebus tawanan-tawanan mereka dengan kebaikan dan keadilan yang umum di kalangan orang-orang beriman.

9

Bani Amr bin Auf, sesuai dengan adat istiadat mereka, akan membayar uang tebusan yang biasa mereka bayar sampai kini dan setiap bagian akan menebus tawanan-tawanan mereka dengan kebaikan dan keadilan yang umum di kalangan orang-orang beriman.

10

Bani al-Nabit, sesuai dengan adat istiadat mereka, akan membayar uang tebusan yang biasa mereka bayar sampai kini dan setiap bagian akan menebus tawanan-tawanan mereka dengan kebaikan dan keadilan yang umum di kalangan orang-orang beriman.

11

Bani al-Aus, sesuai dengan adat istiadat mereka, akan membayar uang tebusan yang biasa mereka bayar sampai kini dan setiap bagian akan menebus tawanan-tawanan mereka dengan kebaikan dan keadilan yang umum di kalangan orang-orang beriman.

12

a. Orang-orang beriman tidak akan membiarkan orang lain dalam keadaan sengsara di antara mereka dengan tidak membayar uang tebusannya atau diyah karena kebaikannya.

b. Seorang mukmin tidak akan bersekutu melawan orang merdeka dari kalangan muslim lain.

13

Orang-orang yang bertakwa (al-Muttaqun) akan berjuang melawan para pemberontak atau mereka yang berusaha menyebarkan ketidakadilan, atau dosa, atau permusuhan, atau korupsi di antara orang-orang beriman; setiap orang harus melawannya kendati ia adalah anak salah seorang dari mereka sendiri.

14

Seorang mukmin tidak akan membunuh orang mukmin lain karena membela orang non-mukmin, tidak juga ia minta pertolongan non-mukmin untuk melawan orang mukmin.

15

Perlindungan Allah adalah untuk seluruh umat, sebagian mereka dapat memberi pertolongan kepada orang asing atas nama mereka secara keseluruhan. Orang-orang beriman adalah sahabat dan pelindung satu sama lain dengan mengenyampingkan seluruh umat manusia.

16

Orang-orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan persamaan. Mereka tidak dapat dipersalahkan dan tidak pula musuh mereka ditolong.

17

Kedamaian di antara orang-orang beriman tidak dapat dipilah-pilah. Tidak ada perdamaian ketika orang-orang beriman dalam keadaan perang di jalan Allah. Persyaratan-persyaratan harus adil dan sama untuk semua.

18

Dalam setiap peperangan, penunggang harus mendapat nilai tambah.

19

Orang-orang beriman harus menuntut balas atas darah orang lain sesuai dengan aturan Allah.

20

a. Orang-orang mukmin yang bertakwa mendapat petunjuk paling baik dan benar.

b. Orang musyrik tidak akan mengambil harta atau orang Quraisy di bawah perlindungannya, dan tidak pula ia ikut campur melawan orang beriman.

21

Barangsiapa terbukti bersalah membunuh orang mukmin tanpa alasan yang dapat dibenarkan, maka ia akan dikenakan retalisasi (qishash), kecuali apabila walinya setuju dengan uang tebusan atas darahnya. Dan orang-orang beriman akan mengambil tindakan tegas terhadapnya.

22

Seorang mukmin yang menyepakati dokumen ini, percaya kepada Allah dan hari akhir, tidak boleh menolong pelaku tindakan kriminal atau memberi perlindungan kepadanya. Laknat Allah dan para malaikat pada hari kiamat jika ia tetap melakukannya. Penyesalan dan tebusannya juga tidak akan diterima.

23

Apabila engkau berbeda pendapat tentang suatu masalah maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.

24

Orang-orang Yahudi akan menyumbang biaya perang sepanjang mereka berperang bersama orang-orang beriman.

25

Yahudi Bani Auf adalah satu komunitas dengan orang-orang beriman (bagi Yahudi agama mereka dan bagi muslim agama mereka).

26

Yahudi Bani an-Najjar adalah sama dengan Yahudi Bani Auf.

27

Yahudi Bani al-Harits adalah sama dengan Yahudi Bani Auf.

28

Yahudi Bani as-Sa`idah adalah sama dengan Yahudi Bani Auf.

29

Yahudi Bani Jusyam adalah sama dengan Yahudi Bani Auf.

30

Yahudi Bani Aus adalah sama dengan Yahudi Bani Auf.

31

Yahudi Bani Tsa`labah adalah sama dengan Yahudi Bani Auf, kecuali terhadap orang-orang berperilaku tidak adil dan maksiat karena sesungguhnya mereka menzhalimi diri mereka dan keluarga mereka sendiri.

32

Jafnah, marga Tsa`labah, adalah sebagai diri mereka sendiri.

33

Yahudi Bani Syutaibah adalah seperti Yahudi Bani Auf. Kesalehan adalah perlindungan terhadap kemaksiatan.

34

Orang-orang merdeka Tsa`labah adalah sebagai diri mereka sendiri.

35

Kolega-kolega dekat Yahudi adalah sebagai diri mereka sendiri.

36

a. Tidaklah mereka akan pergi berperang terlepas dari izin Muhammad.

b. Tetapi ia tidak dicegah untuk menuntut balas atas luka (penderitaan). Ia yang membunuh orang lain tanpa peringatan membunuh dirinya sendiri dan rumah tangganya sendiri, kecuali apabila berbuat salah terhadapnya karena Allah menerima hal tersebut.

37

a. Yahudi harus menanggung biaya mereka dan muslim juga menanggung biaya mereka. Semua pihak harus membantu yang lain melawan siapa yang menyerang orang-orang (yang menyepakati) dokumen ini. Mereka harus meminta nasehat dan konsultasi satu sama lain, dan kesalehan adalah perlindungan terhadap kemaksiatan.

b. Seseorang tidak bertanggung jawab terhadap kesalahan sekutunya. Yang dizhalimi harus ditolong.

38

Yahudi harus membayar bersama orang-orang beriman sepanjang perang berakhir.

39

Yastrib akan menjadi tempat suci bagi orang-orang (yang menyepakati) dokumen ini.

40

Orang asing di bawah perlindungan akan seperti orang yang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Tidak berbuat sesuatu yang membahayakan dan tidak pula melakukan tindakan kriminal.

41

Seorang wanita hanya akan diberikan perlindungan dengan izin keluarganya.

42

Jika ada pertikaian atau kontroversi yang diperkirakan akan mengakibatkan keonaran dan gangguan (trouble), hal itu harus dirujukkan kepada Allah dan Muhammad, Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah menerima apa yang dekat kepada kesalehan dan kebaikan dalam dokumen ini.

43

Quraisy dan para koleganya tidak akan diberikan perlindungan.

44

Pihak yang bertikai bertanggung jawab untuk membantu pihak lain melawan serangan apa pun terhadap Yastrib.

45

a. Jika mereka diminta untuk membuat perdamaian atau menegakkannya, mereka harus melakukan itu; dan jika mereka menuntut hal itu serupa terhadap orang-orang beriman, mereka juga harus melakukannya, kecuali apabila dalam situasi pertempuran demi agama.

b. Setiap orang akan memperoleh bagian dari faksi yang ia berasal darinya.

46

Yahudi Aus, orang-orang merdeka dari kalangan mereka, memiliki posisi yang sama dengan orang-orang (yang menyepakati) dokumen ini dan loyalitas yang sama dari orang-orang yang menyepakati dokumen ini. Kesalehan adalah perlindungan melawan kemaksiatan : setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya. Allah menyetujui dokumen ini.

47

Dokumen ini tidak akan melindungi orang yang tidak adil dan berbuat maksiat. Orang yang maju ke medan perang adalah aman dan orang yang diam di rumahnya juga aman, kecuali apabila berbuat zhalim atau maksiat. Allah adalah pelindung orang-orang saleh dan berkesadaran ketuhanan, dan Muhammad adalah utusan Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Inilah isi keseluruhan dokumen Piagam Madinah yang tertulis dalam kitab Majmua`at al-Watsaiqi as-Siyasah (Umari, 2000) (Al Chaidar, 2000).

Kesucian Bulan-bulan Haram

Oleh : Tengku Azhar, Lc.

(Mahasiswa Pasca Sarjana, UMS)

Definisi Asyhurul Hurum

Asyhurul Hurum adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Bulan-bulan ini diistimewakan oleh Allah Ta’ala dengan kesuciannya dan Dia menjadikan bulan-bulan ini sebagai bulan-bulan pilihan di antara bulan yang ada. Allah Ta’ala berfirman:

Sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram…” (QS. At Taubah:36)

Ibnu Jarir Ath-Thabari –rahimahullah- meriwayatkan melalui sanadnya, dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhu- sehubungan dengan pengagungan Allah terhadap kesucian bulan-bulan ini, beliau berkata, “Allah Ta’ala telah menjadikan bulan-bulan ini sebagai (bulan-bulan yang) suci, mengagungkan kehormatannya dan menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan-bulan ini menjadi lebih besar dan menjadikan amal shalih serta pahala pada bulan ini juga lebih besar.” (Tafsir Ath-Thabari)

Orang-orang Arab pada masa Jahiliyah mengharamkan (mensucikan) bulan ini, mengagungkannya serta mengharamkan peperangan pada bulan-bulan ini. Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- mengatakan, “Bulan-bulan yang diharamkan (disucikan) itu hanya ada empat. Tiga bulan secara berurutan dan satu bulannya berdiri sendiri (tidak berurutan) lantaran adanya manasik Haji dan Umrah. Maka, ada satu bulan yang telah diharamkan (disucikan) yang letaknya sebelum bulan-bulan Haji, yaitu bulan Dzulqa’dah, karena ketika itu mereka menahan diri dari perang. Sedangkan bulan Dzulhijah diharamkan (disucikan) karena pada bulan ini mereka pergi menunaikan ibadah Haji, dan pada bulan ini mereka menyibukkan diri dengan berbagai ritual manasik Haji. sebulan setelahnya, yaitu bulan Muharram juga disucikan karena pada bulan ini mereka kembali dari Haji ke negeri asal mereka dengan aman dan damai. Adapun bulan Rajab yang terletak di tengah-tengah tahun diharamkan (disucikan) karena orang yang berada di pelosok Jazirah Arabia berziarah ke Baitul Haram. Mereka datang berkunjung ke Baitul Haram dan kembali ke negeri mereka dengan keadaan aman.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Dalil-dalil Kesucian Asyhurul Hurum

Adapun dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang bulan-bulan Haram ini adalah firman Allah Ta’ala:

Mereka bertanya tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:’ Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…’” (QS. Al Baqarah:217)

Juga firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan Haram…” (QS. Al Maidah:2)

Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, “Yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah pemuliaan dan pensucian bulan tersebut dan pengakuan terhadap kemuliaannya serta meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah, seperti memulai peperangan dan penegasan terhadap perintah menjauhi hal yang diharamkan…” (Tafsir Ibnu Katsir)

Allah Ta’ala berfirman:

Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram…”(QS. Al Ma’idah:97)

Imam Al-Baghawi –rahimahullah- menuturkan, “Maksudnya bahwa Allah menjadikan bulan-bulan Haram ini sebagai penunaian kewajiban kepada manusia untuk menstabilkan keadaan pada bulan-bulan ini dari peperangan.” (Tafsir Al Baghawi dan Zaadul Masiir). Di dalam Ash-Shahihahin terdapat hadist dari Abu Bakrahrahimahullah- dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:

Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dalam setahun itu terdapat dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram (disucikan). Tiga dari empat bulan itu, (jatuh secara) berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharram. Sedangkan Rajab (yang disebut juga sebagai) syahru Mudhar, terletak diantara Jumada (ats Tsaniyah) dan Sya’ban.” (QS. Bukhari)

Sekelompok orang dari generasi salaf berpandangan bahwa hukum diharamkannya peperangan pada bulan-bulan haram ini, adalah tetap dan berlangsung terus-menerus hingga saat ini, karena dalil-dalil terdahulu. Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa sesungguhnya larangan memerangi kaum musyrikin pada bulan-bulan haram ini telah terhapus (mansukh) dengan firman Allah Ta’ala :

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri sendiri dalam bulan yang empat itu, dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya…” (QS. At Taubah:36)

Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari –rahimahullah- mentarjih (menguatkan) pendapat terakhir ini (lihat tafsir ath Thabari), sedangkan Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa pendapat yang terakhir ini lebih masyhur (lihat Tafsir Ibni Katsir).

Beberapa Keberkahan Dan Keutamaan Bulan-Bulan Haram

Telah dijelaskan di muka mengenai kemuliaan bulan-bulan haram ini atas bulan-bulan lainnya, serta agungnya kesucian bulan-bulan haram ini. Maka sekarang, penulis akan memaparkan beberapa keutamaan dan keberkahan yang terkandung dalam setiap bulan haram (yang disucikan) ini.

1. Bulan Dzulqa’dah

Dia merupakan salah satu bulan Haji (asyhurul hajji) yang dijelaskan oleh Allah dalam friman-Nya:

(Musim) Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi…” (QS.Al Baqarah:197)

Asyhurun ma’luumaat (bulan-bulan yang dikenal) merupakan bulan yang tidak sah ihram Haji kecuali pada bulan-bulan ini (asyhurun ma’luumaat) menurut pendapat yang shahih. (lihat Tafsir Ibnu Katsir). Dan yang dimaksud dengan bulan-bulan Haji (asyhurul hajji) adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Diantara keistimewaan bulan ini, bahwa empat kali ‘Umrah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam terjadi pada bulan ini, hal ini tidak termasuk ‘Umrah beliau yang dibarengi dengan Haji, walaupun ketika itu beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berihram pada bulan Dzulqa’dah dan mengerjakan ‘Umrah tersebut di bulan Dzulhijjah bersamaan dengan Hajinya. (Lathaa if al Ma’aarif, karya Ibnu Rajab; Zaadul Ma’aad).

Ibnul Qayyim menjelaskan pula bahwa ‘Umrah di bulan-bulan Haji setara dengan pelaksanaan Haji di bulan-bulan Haji. Bulan-bulan haji dikhususkan oleh Allah dengan ibadah Haji, dan Allah menjadikan bulan-bulan ini sebagai waktu pelaksanaannya. Sementara ‘Umran merupakan Haji kecil, maka waktu yang paling utama untuk ‘Umrah adalah pada bulan-bulan Haji. Sedangkan Dzulqa’dah berada di tengah-tengah bulan Haji tersebut. (Zaadul Ma’aad).

Karena itu terdapat riwayat dari beberapa ulama Salaf bahwa disukai melakukan ‘Umrah pada bulan Dzulqa’dah. (Lathaa if al Ma’aarif). Akan tetapi ini tidak menunjukkan bahwa ‘Umrah di bulan Dzulqa’dah lebih utama daripada ‘Umrah di bulan Ramadhan. Keistimewaan lain yang dimiliki bulan ini, bahwa masa tiga puluh malam yang Allah janjikan kepada Musa untuk berbicara pada-Nya jatuh pada malam-malam bulan Dzulqa’dah. Sedangkan al asyr (sepuluh malan tambahan)nya jatuh pada periode sepuluh malam dari bulan Dzulhijjah berdasarkan pendapat mayoritas ahli Tafsir. (lihat Tafsir Ibnu Katsir).

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi)…”(QS. Al A’raaf:142)

2. Bulan Dzulhijjah

Diantara beberapa keutamaa dan keberkahan bulan ini, bahwa seluruh manasik Haji dilakukan pada bulan ini. Kesemuanya itu merupakan syi’ar-syi’ar yang besar dari berbagai syi’ar Islam. Terdapat di dalamnya, sepuluh hari pertama yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan, lalu tiga hari berikutnya merupakan hari-hari tasyriq yang agung. (sebagaimana yg dijelaskan pada artikel khusus tentang bulan Dzulhijjah, keutaman sepuluh hari pertama Dzulhijjah).

3. Bulan Muharram

Di antara keutamaan dan keberkahan bulan ini, sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda:

Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah (puasa yang jatuh pada) bulan Allah, (yaitu) Muharram…” (HR. Muslim)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam menamakan Muharram dengan bulan Allah (syahrullaah). Penisbatan nama bulan ini dengan lafazh ‘Allah’ menunjukkan kemuliaan dan keutamaan bulan ini, karena sesungguhnya Allah tidak menyandarkan (menisbatkan) lafazh tersebut kepada-Nya kecuali karena keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki oleh makhluk-nya tersebut dan seterusnya. (Laatha if al Ma’aarif).

Sebagian ulama memberikan alasan yang mengaitkan tentang keutamaan puasa pada bulan ini. Maksudnya, bahwa sebaik-baik bulan untuk melakukan puasa sunnat secara penuh setelah bulan Ramadhan, adalah Muharram. Karena berpuasa sunnat pada sebagian hari, seperti hari ‘Arafah atau enam hari di bulan Syawal lebih utama (afdhal) daripada berpuasa pada sebagian hari-hari bulan Muharram. (Laatha if al Ma’aarif)

Diantara keberkahan bulan Muharram berikutnya, jatuh pada hari kesepuluh, yaitu hari ‘Asyura. Hari ‘Asyura ini merupakan hari yang mulia dan penuh berkah. Hari ‘Asyura ini memiliki kesucian dan kemuliaan sejak dahulu. Dimana pada hari ‘Asyura ini Allah Ta’ala menyelamatkan seorang hamba sekaligus Nabi-Nya, Musa ‘Alaihis Salam dan kaumnya serta menenggelamkan musuhnya, Fir’aun dan bala tentaranya. Sesungguhnya Nabi Musa ‘Alaihis Salam berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukurnya kepada Allah. Sedangkan orang-orang Quraisy di zaman Jahilliyah juga berpuasa pada hari ini, begitu juga Yahudi. Mereka dulu berpuasa pada hari ‘Asyura. Berdasarkan pendapat kebanyakan ulama, puasa ini pada mulanya wajib bagi kaum muslimin sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, kemudian (berubah) menjadi sunnah. Sebagaimana yang tedapat dalam ash Shahihain dari ‘Aisyah radhiallahu anha, ia berkata:

Dahulu orang-orang Quraisy berpuasa ‘Asyura pada zaman Jahilliyah. Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam sendiri juga berpuasa ‘Asyura. Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau terus melaksanakan puasa ‘Asyura, dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa. Lalu ketika diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan, beliau bersabda:’Barangsiapa yang mau berpuasa ‘Asyura, berpuasalah dan barangsiapa yang ingin meninggalkannya, tinggalkanlah.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan juga tertera dalam ash Shahihahin dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam datang ke Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam bertanya pada mereka, “Hari apakah ini, yang kalian berpuasa di dalamnya?” Mereka menjawab: “Ini adalah hari yang agung, pada hari inilah Allah menyelamatkan Musa ‘Alaihis Salam dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya. Maka Musa berpuasa pada hari ‘Asyura ini sebagai tanda syukurnya.” Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam bersabda: “Maka, kami lebih berhak terhadap Musa ‘Alaihis Salam dan lebih diutamakan daripada kamu sekalian.” Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin agar berpuasa. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan puasa pada hari ini memiliki keutamaan yang besar, dimana puasa ini dapat meleburkan dosa-dosa setahun yang lalu, sebagaimana tertera dalam Shahih Muslim, dari Abu Qatadah al Anshari radhiallahu anhu. Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura, maka beliau bersabda, “Dia akan menggugurkan (dosa-dosa) setahun yang lalu.” (HR. Muslm)

Sebagian ulama berpendapat sunnah berpuasa pada hari kesembilan bersamaan dengan hari kesepuluh karena Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat akan berpuasa pada hari kesembilan. Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Barangkali sebab dari puasa dua hari ini agar tidak tasyabbuh (serupa) dengan Yahudi yang berpuasa hanya di hari kesepuluh.” (Syarhun Nawawi li Shahih Muslim)

Tidak ada lagi yang disyari’atkan pada hari ‘Asyura ini selain puasa. Namun sebagian orang mengada-adakan perkara baru (bid’ah) yang tidak ada dasarnya sama sekali, atau hanya bersandar pada hadits-hadits maudhu’ (palsu) atau hadits-hadits dha’if (lemah). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan beberapa perkara mungkar, yang diada-adakan oleh ahlul ahwaa’ (pengikut hawa nafsu), yaitu kaum Rafidhah yang pada hari ‘Asyura pura-pura haus dan sedih, serta perkara-perkara baru lainnya yang tidak disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Dan tidak pula dilakukan oleh seorang pun dari generasi Salaf dan dari ahli Bait Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam maupun dari yang lainnya. Sesungguhnya musibah terbunuhnya al Husain bin Ali bin Abu Thalib pada hari ‘Asyura ini, wajib disikapi seperti penyiikapan terhadap berbagai musibah dengan mengembalikannya kepada penyikapan yang disyari’atkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan bahwa sebagian orang mengada-adakan perkara baru (bid’ah) dalam masalah ini dengan bersandar pada hadits-hadits palsu yang tidak berdasar seperti fadhilah mandi pada hari ‘Asyura, bercelak atau berjabat tangan, atau menampakkan rasa senang dan bahagia, dan meluaskan nafkahnya pada hari itu. (lihat Iqtidhaa-ush Shiraathil Mustaqiim li Mukhaalafatil Ash haabil Jahiim).

4. Bulan Rajab

Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah SAW memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:

Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).

Setelah menelaah hadist ini, Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan,” Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam tentang fadhilah bulan Rajab di hadits-hadits yang lain. Bahkan kebanyakan hadits yang tersebar tentang keutamaan bulan Rajab ini yang disandarkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam adalah dusta…”(Iqtidhaa-ush Shiraatil Mustaqiim).

Ahlul bid’ah telah memalsukan banyak hadits tentang keutamaan bulan yang disucikan ini, dan juga tentang kekhususan sebagian ibadah yang dilakukan pada bulan ini, seperti shalat dan puasa. Dan diantara orang yang mengingatkan hal ini adalah al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah dalam risalahnya, Tabyiinul ‘Ajab bi Maa Warada fii Fadhli Rajab. Dalam risalah ini beliau menjelaskan, “Tidak muncul satupun hadits shahih tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula tentang puasanya, tidak tentang puasa tertentu, dan tidak juga tentang mendirikan shalat malam tertentu di bulan ini yang dikuatkan oleh sebuah hadits yang layak untuk dijadikan sebagai hujjah.” (Risaalah Tabyiin al ‘Ajab). Kemudian beliau menyebutkan hadits-hadits yang meriwayatkan hal ini dan menjelaskan hukum-hukum dari hadits tersebut.

Ibnu Rajab –rahimahullah- menyatakan: “ Tidak benar bahwa di dalam bulan Rajab terdapat shalat tertentu yang khusus untuk bulan ini saja.” Lalu dia mengatakan, “ Tidak benar dalam keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus terdapat satu riwayat dari Nabi Shalallahu ‘Alahi Wassalam dan para Sahabatnya.” (Laathaa iful Ma’aarif). Karena itu kebanyakan ulama Salaf membenci pengkhususan bulan Rajab dengan puasa.

Abu Bakar Ath-Thurthusi telah merinci masalah ini dengan mengatakan: “Shaumnya seseorang (yang dikhususkan) pada bulan ini dimakruhkan dari tiga segi, di antaranya bahwa pengkhususan kaum muslimin dengan puasa setiap tahunnya (pada bulan ini) akan menyebabkan orang-orang awam mengira bahwa hal itu adalah fardhu seperti halnya Ramadhan, atau mereka akan mengira bahwa hal itu adalah sunnah yang tetap. dikhususkan oleh Rasul SAW dengan shaum rutin, atau shaum yang didalamnya dikhususkan dengan keutamaan pahala atas seluruh bulan…” Kemudian beliau mengatakan, “Jika ditinjau dari bab keutamaan-keutamaan Sunnah Nabi SAW atau dari praktiknya, tidak wajib dan tidak pula sunnah menurut kesepakatan dan tidak ada lagi anjuran melakukan puasa melainkan puasa yang sudah ditentukan.”

Adapun Umrah di bulan Rajab telah disebutkan oleh Ibnu Rajab bahwa umrah dibulan Rajab itu adalah hukumnya sunnah menurut pendapat mayoritas generasi Salaf. Diantaranya Umar bin Khaththab –radhiallahu anhu- dan Aisyah –radhiallahu anha-. (lihat Laathaa-iful Ma’aarif)

Reference:

Kitab: At-Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu (edisi terjemahan: Amalan dan Waktu yang Diberkahi), penulis Dr. Nashir bin Abdirrahman bin Muhammad Al- Juda’I, Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta.